Tangis Cinta 2
Der!!!” kilat dan petir saling beradu, sayu kedinginan malam mulai
merebak, rumah sakit tertinggal sepi, tak ada suara yang menyenangkan hati,
semua bergejolak dan terperangkap dalam segala kesedihan, terselip suara
rintihan sakit menusuk hingga ke ulu jiwa yang menatapnya.
Hadi tak kuasa, dirinya selalu ingin menjumpa, ia ingin berdiri
mendekat ke kamar 306, Hadi berusaha kuat dan tak gentar meski dari dalam kamar
terdengat ia tangis sakit yang keras. Hatinya menjadi tak menentu. Ia bingung,
ia ragu, ia menolak dan tak ingin mendengar, ia lebih baik ke teras dekat
mushola mengenang kembali satu kenangan terindah yang terukir bersama Siti
Humairoh. Sebuah kenangan yang tak
terlupakan, di malam setelah lebaran, di pusat kota, di taman-taman,
beralas rumput, beratap bintang-bintang gemilang, berselimut malam, berhias
letusan kembang api memecah keheningan.
Malam itu adalah kenangan terakhir dalam kebersamaan. Saat itu
Humairoh tidak sendirian, ia ditemani dua adik perempuan, Hadi duduk bersilah
dengan sebuah gitar dipelukannya, petikan gitar beriring dengan nyanyian
bersama, kadang hanya Hadi dan Humairoh yang satukan suara mendendang lagu
“Zaujaty”, dua adiknya hanya bisa bertopang dagu dengan bingung dan senang.
Ketika itu kembang api meluncur kembali seolah ingin menembus
langit, semua berhenti tak bernyanyi, bersama menatap langit dengan hiasan
kembang api memecah suasana malam. Namun malam itu ia tak sedikitpun berpesan,
dibalik pancaran parasnya, di tengah gelapnya malam ia puaskan diri untuk
menatap Hadi dalam-dalam, dua matanya begitu lekat memandang, sangat lekat,
membuat suasana terhenti sejenak merekam setiap incinya, matanya yang sipit
seolah melebar, berjalannya waktu pada malam itu berjalan pula kenangan yang
terekam dalam ingatannya.
“Kamu kenapa Umi?” sesaat Hadi terdiam, dua adiknya baru sadar jika
Humairoh ada dalam lamunan.
“Aku ingin denger satu lagu dari Mas, satu laguuuu aja,” Humairoh
meminta dengan manja. Majid ingat, jemari Humairoh menunjuk angka satu, dengan
wajah yang tersenyum dalam layu.
Mungkin itu permintaan terakhir darinya, permintaan yang hanya
sekali ia utarakan dibalik sejuta pesan yang selalu ia berikan. Ingatan majid
sangat kokoh, selalu mengingat cara jalannya, tatapannya, pesannya, lenggok
kepalanya kala berkata dilanda dilemma duka, tulisan tangannya, mimik raut
wajah cemberut yang seolah memanggil untuk dipagut dalam mesra.
“Hadi!” tiba-tiba Ibu memanggil, ia berdiri dibelakang Hadi,
“Humairoh menunggumu di dalam.”
Hadi berdiri seraya rasa yang tak menentu meresap hati. Ia berusaha
menguatkan diri walau pada hakikatnya ia lemah tak berdaya. Hadi berusaha
sebisa mungkin untuk tersenyum meski hakikatnya terpanah duka. Hadi berusaha
menahan air mata meski hakikatnya tlah menetes untuk ketiga kalinya. Hadi
berusaha terlihat tenang walau pada hakikatnya dirinya terlampau khawatir
ditinggalkan. Entah mengapa ada yang membisik untuk belajar melepasnya. Untuk
belajar mengikhlaskannya.
“Bagaimana keadaannya Bu?” Hadi terus berusaha bertahan dengan
pertanyaan, agar hatinya bisa menguat meski yang terjadi justru melemah. Hadi
kembali bertanya,” Ibu! Bagaimana Humairoh bu?,” seolah Hadi ingin mendengar
keadaan Humairoh dalam keadaan baik padahal sayup hatinya mengatakan
sebaliknya.
Ibu tak menjawab, dia menatap sembari berjalan, seakan begitu berat
untuk membri sebenar kabar sesungguh makna.
Jalan rumah sakit seolah menjadi gua, sunyi senyap. Lampu redup tak
bersahaja, Hadi mulai tertarik, mulai melangkah cepat, semakin cepat, sampai
dekat pintu Hadi sekilat mungkin mengusap mata yang berlinang air, mengubah
duka menggambar tawa di wajahnya. Sebelum membuka pintu, tangan Hadi bergetar
hebat seiring dada yang terguncang dahsyat.
Pertama kaki melangkah masuk semua yang ada di dalam menatap tajam
Hadi menunjuk khawatir pada Hadi, hamper semua pipi basah kuyup, tapi tak semua
menghapusnya, Bapak bahkan terpejam diam sedang air mengalir dari kedua jepitan
matanya. Semakin Hadi mendekat semua semakin menjauh dari ranjang. Senyum Hadi
gambar di dua katup bibir, dua matanya sudah beradu dengan tatapan Siti
Humairoh, ia pun dengan sekuat tenaga melukis ceria di kala duka.
“Tinggalkan kami berdua sendirian,” Humairoh meminta.
“Ka’,” Adiknya Dewi merengek.
“Sebentar saja dek ya,” Humairoh membujuk, tangan tertusuk infuse
membelai ubun si kecil.
“Ayo Wi,” kakaknya yang lebih besar memaksa, Dewi ditarik keluar
dari belakang.
Semua menyingkir, tinggal Hadi dan Humairoh, hanya mereka berdua di
kamar 306, tak ada suara kecuali derap gerimis membasahi bumi, detak jarum jam
bisa menghilang. Hadi tatap wajahnya, Humairoh tak lagi berkerudung, rambut
ratanya terurai dipelataran putih bantal.
“Aku akan pergi mas,” tersenyum Humairoh mengucap, senyum yang
diselimuti duka yang mendalam teramat sangat.
Cerita sebelumnya: Tangis Cinta 1, Cerita selanjutnya: "Tangis Cinta 3", Bunga Memekar Kembali, Hibur Hati Sesaat, Hujan Tinggalkan Kenangan
Untuk kelanjutannya silahkan kunjungi post saya "Tangis Cinta 3"
Jangan lupa ya teman-teman! Follow, like and Share kemudian komentar atau tanggapan setelah membaca postingan saya :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar