Bunga Memekar Kembali
Inilah saatnya, saat dimana Hadi berhenti memandang sesosok
Humairoh, saat dimana ia harus merelakan Humairoh tuk selamanya. Ramai
orang-orang dengan berpakaian hitam memandu saat-saat perpisahan bagi Hadi.
Sedikit demi sedikit acara pemakaman selesai, orang-orang mulai kembali ke
rumah masing-masing, hanya tertinggal ayah dan Ibu Humairoh beserta ayah dan
ibu Hadi.
Suasana menjadi layu, dedaunan kering beterbangan, rintik tetes air
mata tak kunjung reda membasahi pipinya, keadaaan yang tak pernah ia harapkan
ternyata sebuah mimpi yang tak kunjung tiba, tepat di samping batu nisan
Humairoh ia berdiam, meluapkan cuaca hati dikabut duka, di sana Hadi meratapi
kesedihannya. Ditinggal seorang Humairoh yang begitu dicinta, sosok yang tak
akan bisa ia temui di alam fana ini. Mata tertatap pada selembar kenangan
bersama, sebuah foto mereka berdua. Hadi tak tahan, Hadi merasa hancur sekali,
sangat sakit baginya untuk melepaskan Humairoh, seribu bait do’a yang ia
panjatkan demi seseorang yang bernama Humairoh.
Ia peluk batu nisan Humairoh, ia tangisi dengan kesedihan yang
teramat sangat. Tak habis-habisnya Hadi bertanya dengan keadaan “Kenapa?
Kenapa? Dan kenapa? Kekecewaannya terlampau sangat hingga Hadi tak sadarkan
diri. Kedua orang tua Hadi meratapi anaknya yang kini beroleh kemalangan. Hadi
adalah sesosok yang jika ia mencinta cintanya takkan reda, yang jika ia
memandang pandangannya takkan terhapus dari ingatannya, yang jika ia menyayang
kasih sayangnya takkan berkurang, ia seorang anak yang kini dewasa membutuhkan
kawan dalam kasih maka sangatlah wajar hingga usianya yang hampir 29 tahun ia bertekad
mencari pendamping yang ia cintai sepenuh hati. Bahkan sebulan sebelum
kepergian Humairoh, Hadi menutur kata kepada ibunya,
“Bu! Do’akan Hadi dengan Humairoh ya bu menjadi cinta yang bermusim
semi, yang padu cinta kasih kami tak terhapus oleh daun berguguran, Hadi mau
saat menikah nanti ibu selalu damping Hadi.” Ucap Hadi dengan penuh harap dan
bahagia.
Tak rasa tertetes pula air mata dari seorang ibu yang melihat
anaknya berada dalam putusnya harapan. Sangat tidak terduga apa yan diharapkan
anaknya jauh dari kenyataan, seorang ibu mulai menutur do’a dan do’a terpanjat
setiap setelah sholat,
”Ya Allah, pemilik segala cinta, pemilik segala hati, tiada
kebahagiaanku yang paling mendalam kecuali sebagiannya tersimpan dalam
kebahagiaan anakku, hambamu ini tahu jika hamba tak berhak mencampuri takdir,
tapi setidaknya hambamu ini meminta dan berharap Engkau memberi kasih dan
sayangmu terhadap anakku.” Panjat do’a
sambil menangis seorang ibu di keheningan malam demi kebahagiaan anak
tercinta, anak bungsu yang belum menikah.
Di kamar, Hadi termenung dengan sebuah foto di tangan melihat
senyum nan ayu di mata. Sudah sekitar setengah bulan ia mengurung diri di
rumah, tanpa sapa, tanpa tawa, mukanya pucat dengan bibir agak kering
menggambarkan kesedihan terlampau diri. Mengikuti memori berjalan ia mengingat
kata-kata Humairoh, “Mas, segala sesuatu yang terjadi biarlah terjadi, jaga dan
rawat yang saat ini bisa mas miliki itulah satu-satunya cara agar kita tak
menyesal jika kehilangannya”. Pesan Humairoh kepada Hadi, pesan yang menusuk
hatinya, membuka tabir kesadarannya. Hadi meratap kehampaan ia mulai sadar
bahwa sikapnya telah berlebih, bahkan pesan dari Humairoh pun tak ia risaukan
baik-baik. Ia mulai meniti jalan, menjahit luka, mereda tangis. Ia yakin hal
yang ia lakukan mengenang Humairoh dengan mengurung diri takkan membuah hasil.
“Bu! Ibu dimana? Tanya Hadi ingin mengabarkan sesuatu. Tangannya
dingin seolah ingin memeluk.
“iya Hadi, ibu di sini nak” terdengar dari sudut kamar dengan
sebuah hamparan sajadah.
Sepintas Hadi peluk ibunya sejenak, tanpa ada kata apapun yang ia
ucap. “Ibu, maafin Hadi ya atas segala kejadian dan sikap Hadi beberapa hari
ini, Hadi tak ingin kehilangan lagi bu.” Sambil menetes air mata kembali, “Hadi
tak ingin kehilangan orang yang Hadi sayang lagi, Hadi sayang ibu dan abah,
walau Hadi sudah besar tapi sungguh bu sikap dalam lubuk hati Hadi seperti
anak-anak, yang jika kehilangan lantas menangis, jika tersakiti ilantas
menangis pula, sekarang Hadi akan jaga ibu dan abah.” Seperti seorang anak
kecil, menangis dengan manjanya. Saat itu pula jiwa ibu yang lebih mengetahui
akan keadaan terluapkan, saat itu jiwa anak dan seorang ibu bertemu kembali.
Kini Hadi mulai menghidupkan jiwa yang telah hampir mati, satu
motivasi baginya adalah semoga Humairoh tersenyum di sana melihat Hadi yang
begitu gigih melaksanakan pesan-pesan darinya. Ia mulai menghilangkan segala
hal yang membuatnya sedih, ibarat bunga yang kembali mekar. Ia mulai kubur foto Humairoh, ia kumpulkan segala
hadiah dan semua benda yang membuatnya sedih eketika ia mengingat., ia tutup
kenangan masa lalu, ia mulai buka lembaran baru di masa depan dengan sebuah
harapan lembaran itu akan menjadi lembaran yang sangat berharga dan teman setia
dari kisah hidupnya. Malam itu segala do’a Hadi panjatkan di atas bantal, tahlil,
tahmid, tasbih, ayat kursi, an-Nash, al-Falaq, al-Ikhlas, bahkan al-Waqi’ah
semua Hadi urut di bibirnya. Matanya perlahan menutup seiring sadarnya
menghilang, seiring malam mulai memekik kedinginan seiring sunyi mengubur para
pemimpi.
Besok Hadi harus mengantar Dewi ke pondok sebagai janji terakhirnya
yang tertunda dan harus dipenuhi dari Humairoh, mengantar di sebuah pondok
tahfidz jauh dari perkotaan hingga harus menyediakan suguhan untuk
perjalanannya. Tas punggung sudah dipersiapkan, dengan selembar handuk,sebotol
air mineral, buku bacaan, semua sudah tersedia di tas. Hadi berharap besok
perjalanan mengantar Dewi berjalan dengan lancar.
“Ibu, Hadi berangkat dulu ya! Abah, Hadi berangkat bah ya, do’akan
semuanya lancar ya abah!” Ucap Hadi sambil mencium tangan dan pipinya abah dan
ibu pada malam itu setelah sholat isya.
“Hati-hati ya nak, jaga Dewi baik-baik!” ibu senyum tulus memandang
anak kesayangan.
“Klo ada apa-apa usahakan kabari abah!” Pesan abah sebelum hadi
berangkat dengan sebuah tongkat di tangan penopang jalan.
Abah dan ibu hanya berdua di rumah jika Hadi pergi. Bagi mereka,
hanya berdua bukanlah sebuah kebahagiaan, tetapi melainkan dengan kehadiran
anak yang tercinta membuat suasana rumah menjadi hidup, tanpa Hadi rumah
seperti siksaan bagi abah dan ibu. Terkadang kalau Hadi pergi, ibu mengirim
pesan, “Lagi dimana nak?” isyarat ibu rindu. Waktu lampu listrik rumah mati ibu
menelpon, Hadi waktu itu di luar daerah, “Ibu kenapa? tumben jam segini nelpon
Hadi.”
“Listrik mati nak di rumah, jadi sepi nak” suara berat ibu
terdengar.
“Ibu tutup telponnya biar Hadi yang telpon”, Hadi ngajak cerita ibu
mengobrol ke sana kemari, mengisi suasana sepi di qolbu ibu, terkadang
menceritakan berapa cucu yang ibu pengen, kadang bercerita tentang perempuan yang
Hadi suka, kadang cerita lucu yang membuat ibu senyum dan ketawa mendengarnya.
Malam itu setelah terucapnya salam sholat isya, Dewi sudah menunggu
di terminal bus, jalan kemerdekaan, tak butuh waktu yang lama, hanya lima belas
menit dari rumahnya untuk sampai ke terminal. Tampak ia duduk di kursi tunggu
dengan tas kecil ditangan dan ditemani oleh bapak dan ibunya, Hadi datang
menyalami bapak dan ibu Dewi, spontan Dewi mencium tangan Hadi dengan hormat
seakan menganggap Hadi sebagai kakak iparnya, umurnya yang hanya lima belas
tahun menguat harapan bapak ibunya Dewi untuk menjaga Dewi diperjalanan.
Dewi duduk di kursi barisan kedua sebelah kiri samping jendela,
dengan tas kecil dipangkuannya. Hadi duduk disebelahnya, mata Hadi tak bisa
tidur, karna masih terpintas memori tentang Humairoh. Dewi saat itu berjilbab
warna putih dengan baju gamis. Ia kadang memandang jendela dan kadang
memperhatikan Hadi. Tubuhnya tertutup selimut, pipinya redup karna dinginnya
malam itu.
“Ka Hadi tidak tidur?” Dewi tegur Hadi yang keliatan melamun.
“Tidak bisa, Dewi tidur aja duluan,” Hadi membenarkan selimutnya
menjaga seperti adik iparnya sendiri.
“Tidak bisa,” Dewi membuka mata lebar.
Hadi tetap lekat, matanya masih sembab, “Kenapa kamu tersenyum?”
“Dewi ingat kata Mba Humairoh.”
“Apa itu?”
“Dewi tidak mau cerita, semua tentang Mas hadi,” Dewi seolah lupa
kehilangan kakanya, “Kalau Dewi minta cerita tentang Mas Hadi, mba’ Humairoh
tidak pernah ada habisnya, ada saja yang diceritakannya.”
Hati Hadi perih mendengarnya, sama artinya mengorek luka
kehilangan, “Dewi tidak bosan mendengarnya?”
Dewi senang,” Dewi tersenyum, “Ka Hadi jangan sedih ya…
Sesungguhnya kadang tidak baik menurut kita justru itulah yang terbaik menurut
Allah.” Dengan latar belakang belajar di pondok, tidak sedikit Dewi mengetahui
firman-firman Allah mengenai cinta dan kesedihan. Hadi termenung dengan
perkataan yang teruak dari bibir Dewi yang masih belum tersentuh oleh drama
cinta. Mungkin ia terlalu kaku dalam perjalanan cinta tapi ia mengetahui
hakekat dari pemberi cinta.
“ka Hadi, Allah mengambil sesuatu dari manusia untuk saling agar
manusia bisa memahami rasa kehilangan bukan untuk berdiam diri meratapi
kehilangan, ketika manusia memahami rasa kehilangan maka ia akan berjuang diri
untuk menjaganya agar tidak kehilangan, ketika ka Hadi masih kehilangan walau
sudah menjaga. Percayalah! Allah kasih yang lebih baik yang bisa menggantikan
sesuatu yang hilang itu.” Ucap Dewi memotivasi Hadi dan memotivasi dirinya juga
atas kehilangan kakaknya.
“mba Dewi cerita banyak tentang ka Hadi, ka Hadi yang selalu
mengajak mba Humairoh ikut pengajian, ka Hadi yang selalu bercerita tentang
perjalanan cinta Rasul, ka Hadi yang mengajak membaca al-Qur’an bersama bahkan
nyuruh mba Humairoh untuk ngajari adik-adiknya bersikap baik kepada sesama
manusia.” Tutur kata yang anggun terurai dari Dewi. Hadi yang mendengar merasa
sejuk dan mulai mereda kisah sedihnya. Malam itu bus berjalan dengan rute yang
panjang membuat kedua insan terlelap mengarungi perjalan.
Cerita sebelumnya: Tangis Cinta 1, Tangis Cinta 2, Tangis Cinta 3
Cerita selanjutnya: Hibur Hati Sesaat
Cerita sebelumnya: Tangis Cinta 1, Tangis Cinta 2, Tangis Cinta 3
Cerita selanjutnya: Hibur Hati Sesaat
Jangan lupa ya teman-teman! Share and ikuti, kemudian kasih tanggapan, tanggapan dari teman adalah ilmu bagi saya... :) Lihat season selanjutnya Hibur Hati Sesaat atau di bawah profil .. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar