Kamis, 03 November 2016

Bunga Memekar Kembali (4)




Bunga Memekar Kembali
Inilah saatnya, saat dimana Hadi berhenti memandang sesosok Humairoh, saat dimana ia harus merelakan Humairoh tuk selamanya. Ramai orang-orang dengan berpakaian hitam memandu saat-saat perpisahan bagi Hadi. Sedikit demi sedikit acara pemakaman selesai, orang-orang mulai kembali ke rumah masing-masing, hanya tertinggal ayah dan Ibu Humairoh beserta ayah dan ibu Hadi.
Suasana menjadi layu, dedaunan kering beterbangan, rintik tetes air mata tak kunjung reda membasahi pipinya, keadaaan yang tak pernah ia harapkan ternyata sebuah mimpi yang tak kunjung tiba, tepat di samping batu nisan Humairoh ia berdiam, meluapkan cuaca hati dikabut duka, di sana Hadi meratapi kesedihannya. Ditinggal seorang Humairoh yang begitu dicinta, sosok yang tak akan bisa ia temui di alam fana ini. Mata tertatap pada selembar kenangan bersama, sebuah foto mereka berdua. Hadi tak tahan, Hadi merasa hancur sekali, sangat sakit baginya untuk melepaskan Humairoh, seribu bait do’a yang ia panjatkan demi seseorang yang bernama Humairoh.
Ia peluk batu nisan Humairoh, ia tangisi dengan kesedihan yang teramat sangat. Tak habis-habisnya Hadi bertanya dengan keadaan “Kenapa? Kenapa? Dan kenapa? Kekecewaannya terlampau sangat hingga Hadi tak sadarkan diri. Kedua orang tua Hadi meratapi anaknya yang kini beroleh kemalangan. Hadi adalah sesosok yang jika ia mencinta cintanya takkan reda, yang jika ia memandang pandangannya takkan terhapus dari ingatannya, yang jika ia menyayang kasih sayangnya takkan berkurang, ia seorang anak yang kini dewasa membutuhkan kawan dalam kasih maka sangatlah wajar hingga usianya yang hampir 29 tahun ia bertekad mencari pendamping yang ia cintai sepenuh hati. Bahkan sebulan sebelum kepergian Humairoh, Hadi menutur kata kepada ibunya,
“Bu! Do’akan Hadi dengan Humairoh ya bu menjadi cinta yang bermusim semi, yang padu cinta kasih kami tak terhapus oleh daun berguguran, Hadi mau saat menikah nanti ibu selalu damping Hadi.” Ucap Hadi dengan penuh harap dan bahagia.
Tak rasa tertetes pula air mata dari seorang ibu yang melihat anaknya berada dalam putusnya harapan. Sangat tidak terduga apa yan diharapkan anaknya jauh dari kenyataan, seorang ibu mulai menutur do’a dan do’a terpanjat setiap setelah sholat,
”Ya Allah, pemilik segala cinta, pemilik segala hati, tiada kebahagiaanku yang paling mendalam kecuali sebagiannya tersimpan dalam kebahagiaan anakku, hambamu ini tahu jika hamba tak berhak mencampuri takdir, tapi setidaknya hambamu ini meminta dan berharap Engkau memberi kasih dan sayangmu terhadap anakku.” Panjat do’a  sambil menangis seorang ibu di keheningan malam demi kebahagiaan anak tercinta, anak bungsu yang belum menikah.
Di kamar, Hadi termenung dengan sebuah foto di tangan melihat senyum nan ayu di mata. Sudah sekitar setengah bulan ia mengurung diri di rumah, tanpa sapa, tanpa tawa, mukanya pucat dengan bibir agak kering menggambarkan kesedihan terlampau diri. Mengikuti memori berjalan ia mengingat kata-kata Humairoh, “Mas, segala sesuatu yang terjadi biarlah terjadi, jaga dan rawat yang saat ini bisa mas miliki itulah satu-satunya cara agar kita tak menyesal jika kehilangannya”. Pesan Humairoh kepada Hadi, pesan yang menusuk hatinya, membuka tabir kesadarannya. Hadi meratap kehampaan ia mulai sadar bahwa sikapnya telah berlebih, bahkan pesan dari Humairoh pun tak ia risaukan baik-baik. Ia mulai meniti jalan, menjahit luka, mereda tangis. Ia yakin hal yang ia lakukan mengenang Humairoh dengan mengurung diri takkan membuah hasil.
“Bu! Ibu dimana? Tanya Hadi ingin mengabarkan sesuatu. Tangannya dingin seolah ingin memeluk.
“iya Hadi, ibu di sini nak” terdengar dari sudut kamar dengan sebuah hamparan sajadah.
Sepintas Hadi peluk ibunya sejenak, tanpa ada kata apapun yang ia ucap. “Ibu, maafin Hadi ya atas segala kejadian dan sikap Hadi beberapa hari ini, Hadi tak ingin kehilangan lagi bu.” Sambil menetes air mata kembali, “Hadi tak ingin kehilangan orang yang Hadi sayang lagi, Hadi sayang ibu dan abah, walau Hadi sudah besar tapi sungguh bu sikap dalam lubuk hati Hadi seperti anak-anak, yang jika kehilangan lantas menangis, jika tersakiti ilantas menangis pula, sekarang Hadi akan jaga ibu dan abah.” Seperti seorang anak kecil, menangis dengan manjanya. Saat itu pula jiwa ibu yang lebih mengetahui akan keadaan terluapkan, saat itu jiwa anak dan seorang ibu bertemu kembali. 
Kini Hadi mulai menghidupkan jiwa yang telah hampir mati, satu motivasi baginya adalah semoga Humairoh tersenyum di sana melihat Hadi yang begitu gigih melaksanakan pesan-pesan darinya. Ia mulai menghilangkan segala hal yang membuatnya sedih, ibarat bunga yang kembali mekar. Ia mulai kubur foto Humairoh, ia kumpulkan segala hadiah dan semua benda yang membuatnya sedih eketika ia mengingat., ia tutup kenangan masa lalu, ia mulai buka lembaran baru di masa depan dengan sebuah harapan lembaran itu akan menjadi lembaran yang sangat berharga dan teman setia dari kisah hidupnya. Malam itu segala do’a Hadi panjatkan di atas bantal, tahlil, tahmid, tasbih, ayat kursi, an-Nash, al-Falaq, al-Ikhlas, bahkan al-Waqi’ah semua Hadi urut di bibirnya. Matanya perlahan menutup seiring sadarnya menghilang, seiring malam mulai memekik kedinginan seiring sunyi mengubur para pemimpi.
Besok Hadi harus mengantar Dewi ke pondok sebagai janji terakhirnya yang tertunda dan harus dipenuhi dari Humairoh, mengantar di sebuah pondok tahfidz jauh dari perkotaan hingga harus menyediakan suguhan untuk perjalanannya. Tas punggung sudah dipersiapkan, dengan selembar handuk,sebotol air mineral, buku bacaan, semua sudah tersedia di tas. Hadi berharap besok perjalanan mengantar Dewi berjalan dengan lancar.
“Ibu, Hadi berangkat dulu ya! Abah, Hadi berangkat bah ya, do’akan semuanya lancar ya abah!” Ucap Hadi sambil mencium tangan dan pipinya abah dan ibu pada malam itu setelah sholat isya.
“Hati-hati ya nak, jaga Dewi baik-baik!” ibu senyum tulus memandang anak kesayangan.
“Klo ada apa-apa usahakan kabari abah!” Pesan abah sebelum hadi berangkat dengan sebuah tongkat di tangan penopang jalan.
Abah dan ibu hanya berdua di rumah jika Hadi pergi. Bagi mereka, hanya berdua bukanlah sebuah kebahagiaan, tetapi melainkan dengan kehadiran anak yang tercinta membuat suasana rumah menjadi hidup, tanpa Hadi rumah seperti siksaan bagi abah dan ibu. Terkadang kalau Hadi pergi, ibu mengirim pesan, “Lagi dimana nak?” isyarat ibu rindu. Waktu lampu listrik rumah mati ibu menelpon, Hadi waktu itu di luar daerah, “Ibu kenapa? tumben jam segini nelpon Hadi.”
“Listrik mati nak di rumah, jadi sepi nak” suara berat ibu terdengar.
“Ibu tutup telponnya biar Hadi yang telpon”, Hadi ngajak cerita ibu mengobrol ke sana kemari, mengisi suasana sepi di qolbu ibu, terkadang menceritakan berapa cucu yang ibu pengen, kadang bercerita tentang perempuan yang Hadi suka, kadang cerita lucu yang membuat ibu senyum dan ketawa mendengarnya.
Malam itu setelah terucapnya salam sholat isya, Dewi sudah menunggu di terminal bus, jalan kemerdekaan, tak butuh waktu yang lama, hanya lima belas menit dari rumahnya untuk sampai ke terminal. Tampak ia duduk di kursi tunggu dengan tas kecil ditangan dan ditemani oleh bapak dan ibunya, Hadi datang menyalami bapak dan ibu Dewi, spontan Dewi mencium tangan Hadi dengan hormat seakan menganggap Hadi sebagai kakak iparnya, umurnya yang hanya lima belas tahun menguat harapan bapak ibunya Dewi untuk menjaga Dewi diperjalanan.
Dewi duduk di kursi barisan kedua sebelah kiri samping jendela, dengan tas kecil dipangkuannya. Hadi duduk disebelahnya, mata Hadi tak bisa tidur, karna masih terpintas memori tentang Humairoh. Dewi saat itu berjilbab warna putih dengan baju gamis. Ia kadang memandang jendela dan kadang memperhatikan Hadi. Tubuhnya tertutup selimut, pipinya redup karna dinginnya malam itu.
“Ka Hadi tidak tidur?” Dewi tegur Hadi yang keliatan melamun.
“Tidak bisa, Dewi tidur aja duluan,” Hadi membenarkan selimutnya menjaga seperti adik iparnya sendiri.
“Tidak bisa,” Dewi membuka mata lebar.
Hadi tetap lekat, matanya masih sembab, “Kenapa kamu tersenyum?”
“Dewi ingat kata Mba Humairoh.”
“Apa itu?”
“Dewi tidak mau cerita, semua tentang Mas hadi,” Dewi seolah lupa kehilangan kakanya, “Kalau Dewi minta cerita tentang Mas Hadi, mba’ Humairoh tidak pernah ada habisnya, ada saja yang diceritakannya.”
Hati Hadi perih mendengarnya, sama artinya mengorek luka kehilangan, “Dewi tidak bosan mendengarnya?”
Dewi senang,” Dewi tersenyum, “Ka Hadi jangan sedih ya… Sesungguhnya kadang tidak baik menurut kita justru itulah yang terbaik menurut Allah.” Dengan latar belakang belajar di pondok, tidak sedikit Dewi mengetahui firman-firman Allah mengenai cinta dan kesedihan. Hadi termenung dengan perkataan yang teruak dari bibir Dewi yang masih belum tersentuh oleh drama cinta. Mungkin ia terlalu kaku dalam perjalanan cinta tapi ia mengetahui hakekat dari pemberi cinta.
“ka Hadi, Allah mengambil sesuatu dari manusia untuk saling agar manusia bisa memahami rasa kehilangan bukan untuk berdiam diri meratapi kehilangan, ketika manusia memahami rasa kehilangan maka ia akan berjuang diri untuk menjaganya agar tidak kehilangan, ketika ka Hadi masih kehilangan walau sudah menjaga. Percayalah! Allah kasih yang lebih baik yang bisa menggantikan sesuatu yang hilang itu.” Ucap Dewi memotivasi Hadi dan memotivasi dirinya juga atas kehilangan kakaknya.
“mba Dewi cerita banyak tentang ka Hadi, ka Hadi yang selalu mengajak mba Humairoh ikut pengajian, ka Hadi yang selalu bercerita tentang perjalanan cinta Rasul, ka Hadi yang mengajak membaca al-Qur’an bersama bahkan nyuruh mba Humairoh untuk ngajari adik-adiknya bersikap baik kepada sesama manusia.” Tutur kata yang anggun terurai dari Dewi. Hadi yang mendengar merasa sejuk dan mulai mereda kisah sedihnya. Malam itu bus berjalan dengan rute yang panjang membuat kedua insan terlelap mengarungi perjalan.
Cerita sebelumnya: Tangis Cinta 1, Tangis Cinta 2, Tangis Cinta 3 
Cerita selanjutnya: Hibur Hati Sesaat 

Jangan lupa ya teman-teman! Share and ikuti, kemudian kasih tanggapan, tanggapan dari teman adalah ilmu bagi saya... :) Lihat season selanjutnya Hibur Hati Sesaat atau  di bawah profil .. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar