Hujan Tinggalkan Kenangan
Tak lama Dewi datang menemui Hadi saat Hadi larut dalam lamunan.
“Kak!...” Dewi kejutkan Hadi.
“Oh ya…” Hadi terkejut sesaat.
“Maaf ka ya, tadi Dewi gak bisa keluar maklum masih belum
waktunya.” Dengan muka tunduk, tangan kanan dan kiri menyatu di belakang seolah
tak nyaman membuat Hadi menunggu lama.
“Tak apa-apa Dewi, ini uang dari umi dan abi Dewi, Dewi jaga diri
baik-baik ya, makannya jangan telat, minum air putih banyak-banyak, kalau ada
sesuatu yang pengen diceritain, telpon aja Ka Hadi.” Pesan Hadi sembari
mengabarkan ia akan kembali pulang.”
Hadi tak tahu jika Dewi mulai mengisak tangis, mukanya yang spontan
memerah tunduk kepalanya yang dalam. Hadi terdiam dan mulai memahami Dewi. Umur
Dewi yang masih belasan tahun membuatnya rentan akan kesedihan jika
ditinggalkan. Cucur air matanya membasahi pipi hingga ke dagunya.
“Dewi kenapa?.” Hadi sedikit mengarah ke arah wajahnya yang
menunduk.
“Jangan lupa sama Dewi ya Ka,” Dewi memohon tanpa menatap, “Kak
Hadi sudah menjadi keluarga kami.”
Iya,” Hadi mengiyakan.
Tiba-tiba datang seorang gadis yang juga bertugas sebagai
pembimbing santriwati, bermukenah, bersajadah disandar pundak kiri, berdiri
dari kejauhan gerbang mengajak para santriwati untuk bersiap sholat dzuhur, ia
menatap ruang tamu tampak Dewi sedang menangis tanpa henti. Hujan semakin
deras, gadis itu mulai menghampiri Dewi.
Hadi tak bisa pergi dengan keadaan Dewi yang diambang kesedihan. Ustadzah
mendekat dan menggapai dari belakang Dewi bahu kanannya, “Dewi kenapa?”
Dewi menggeleng empat kali sambil menundukkan diri.
Hadi baru menyadari kalau yang dihadapannya ini adalah seseorang
yang telah menabraknya tadi, ia tampak lebih dewasa, dengan naluri keibuan yang
tampak darinya, harum wangi sederhananya seolah parfum bagi hati Hadi rasa
syahdu Ilahi. Hadi begitu dekat dengannya pandangannya juga tertuju pada
seorang gadis tersebut dengan lesung pipinya pelipur lara.
Dewi kenapa?” Gadis itu mencoba membujuk.
“Dewi sedih karna saya akan berangkat pulang mba’’,” Hadi menjawab.
Dia menoleh ke arah Hadi, empat mata bertemu dalam pandangan hangat
di tengah gemuruh hujan yang lebat membahana. Keduanya terikat dalam panduan
asmara. Setiap rintik hujan membasahi bumi, setiap itu juga Hadi mulai menabur
rasa. Parasnya tampak mengkerut menyimpan malu, “Mas…”
“Dewi jangan sedih ya, seberapa lama pun kakak di sini kakak pasti
akan pulang tapi Dewi jangan khawatir, ka Hadi akan hubungi Dewi gak akan lupa
sama Dewi.” Hadi meyakinkan tanpa membuat sedih Dewi yang dianggapnya sebagai
adiknya sendiri.
“Dewi tahu kak, tapi Dewi tetap takut kehilangan Kak Hadi seperti
Dewi kehilangan…” suaranya terhenti sejenak mengingatkannya akan kehilangan
kakaknya Humairoh, dia mengeluarkan air matanya tanpa memikirkan apapun, bagai
anak kecil yang mengisak tangis, gadis yang melihatnya terdiam seribu bahasa.
Semua orang di sekitar menatap kepada ketiga insan yang dinaungi oleh kesedihan
mendalam.
Hadi mulai membelai ubun-ubun Dewi sembari mengucap,
“Dewi ingat dengan kata-kata Dewi saat kita di bus, Dewi bilang
kalau ketika kita kehilangan maka sesungguhnya Allah memberikan rasa kehilangan
pada manusia agar manusia bisa lebih menjaga apa yang sekarang dimilikinya,
sekarang kakak anggap Dewi sebagai adik ka Hadi dan kak Hadi akan jaga Dewi,
Dewi pun begitu, sekarang Dewi punya ka Hadi di sini maka jaga dan jangan
takut.” Hadi bersuara dengan lembut
merayu insan yang bersedih.
Dewi mendengarkan tapi ia sejenak tetap mengikut tangis, meluapkan
isi hati. Hampir lima belas menit ia menangis, saat itu hujan semakin deras,
hanya dua orang yang menemani Dewi yaitu Hadi dan seorang gadis yang Hadi tak
tahu siapa namanya. “Sudah de, gak enak dilihat sama orang.”
Dewi mengangguk, gadis berlesung hanya menikmati pemandangan di
hadapannya, mendengarkan, merasakan sembari menetap duduk bak seorang geisha.
“kak Hadi pamit dulu. Dewi
pulang ke asrama, ka Hadi janji tidak akan lupakan Dewi,” semua adik Humairoh,
“Insya Allah satu hari kita bisa nyanyi bersama dan ngaji bersama walau tanpa
mba Humairoh,” Hadi terus coba memahamkan, “Jangan buat mba’ Humairoh di sana
ikut menangis melihat Dewi!”
Dewi mengangguk, ia salami tangan Hadi dan menciumnya, ia juga
mencium tangan gadis berlesung. Ia tampak dari belakang berlari keluar, pulang
ke kamar menembus hujan tinggalkan hadi berdua dengan gadis berlesung.
“Terima kasih Mba’,” Hadi mengucap tanpa memandangnya.
“untuk apa Mas?”
“Sudah temani aku tenangkan Dewi,” sekilas Hadi menyandar dinding
melepas lelah hati.
“Tidak perlu, saya tidak melakukan apa-apa, semua berkat kesabaran
Mas,” Ia tersenyum, senyum merekah mengempas lelah, “Seharusnya saya yang
memohon maaf.”
“Untuk apa?” kali ini Hadi terkejut, mencoba terpejam sesaat
mengingat.
“Untuk yang tadi,” Ia menunjuk ke belakang, kuku-kukunya terlihat
lebih panjang.
“Oh itu! Tak apa Mba’ lagian sudah berlalu koq.” Hadi tak ingin
membebaninya.
Tak lama dia undur diri, Hadi ke kamar mandi mengambil air wudhu.
Selepas sholat Hadi mulai bersiap diri untuk pulang. Masukkan kembali handuk,
menutup tas, memakai jaket. Saat tas telah terjaga di punggung, celana lipat di
bawah lutut, Hadi mulai bingung melangkah, hujan teramat deras, jika berlari ke
tepi jalan menunggu bus basah kuyup sekujur badan, semua tampak memutih
terguyur air, percikannya terasa bak serpihan es di jemari kaki.
Hadi hanya bisa berdiri, mendekap dada di balik jaket hitam. Lima
menit Hadi menanti, hujan tak kunjung mengecil, selokan meluap, tubuh majid
kusut kedinginan, ujung rambut menetes air, lima ratus meter jalan tlah bias
tak bisa dipandang, hanya lampu bus menyorot kuning yang tampak di jalan..
“Mas….” Ada yang memanggil Hadi dari dekat, dari belakang tubuhnya.
Hadi menoleh, ternyata gadis berlesung ada di hadapannya, hadi tak
tahu apakah dia seorang guru atau santriwati, “Mba’,” Hadi membalas, ia tak
menjinjing rok hitam yang menyapu lantai, ia biarkan basah menutup jemari
kakinya yang indah.
“Pakai payung ini!” ia memberikan payung putih.
“Aku menunggu saja Mba’, lagi pula aku nanti bingung bagaimana
harus mengembalikannya,” Hadi halus menolak.
Ia tersenyum, senyum selimut di tengah hujan, “Mas tampak buru-buru,
dari tadi Mas berdiri, tas tak pernah dilepas walau sejenak,” ia kembali
tersenyum seraya kedipan dua matanya, “Untuk paying tidak usah bingung,
letakkan saja di pinggir jalan, nanti saya sendiri yang akan mengambilnya,” Ia
menunjuk jauh ke tepi jalan.
Hadi merasa ragu, rasanya tidak enak, “Tapi…”
“Budi baik saya jangan Mas tolak, lagi pula saya sudah menabrak
Mas.”
“Jangan terus diingat Mba’, saya yakin Mba’ tidak sengaja,” Hadi
menyela rambutnya yang basah.
“Memang, tapi Mas sedikitpun tak marah, dan karena itu saya justru
merasa sangat bersalah,” gadis di depan Hadi seolah tak tersentuh dingin, ia
tegar berdiri.
Hadi sedikit luluh, “Bagaimana aku harus membalas ini semua ini?”
“Anggap saja ini angin lalu,” Ia tersenyum sederhana, sebatas
menarik dua pangkal bibirnya ke belakang, Hadi kali ini tak melepaskannya. Ia
menawarkan budi kepada gadis tersebut.
“Niat baik saya jangan ditolak, katakana saja Mba’,” Hadi membalas,
Ia tertunduk, “Saya tidak sanggung mengatakannya.”
“Tulislah di surat,” Hadi menarik dompet, “Kalau berkenan, kirim
saja ke alamat ini.”
Dua tangan menerima, darahnya seolah air mengalir jernih kulitnya,
“Terima kasih.”
Hadi membuka payung, berjalan menembus hujan, jika ada air yang
menggenang, Hadi tidak loncat tapi menoleh ke belakang, mengintip di balik
deras lebat hujan sosok gadir yang Hadi lupa bertanya akan namanya. Ia tampak
tegar berdiri di teras ruangan, berdiri sendiri berbalut keindahan seorang
perempuan, bahkan kala Hadi menunggu bis di tepi jalan ia masih terlihat berdiri
di tempat ia melepas kepergian Hadi. Wajahnya memang tak tampak terhalang
hujan, taoi Hadi berusaha sebisa mungkin mengenang. Saat bis datang, payung
Hadi tinggalkan di tepi jalan.
Hadi tak mungkin melupakannya, akan terus mengingatnya, dan ingin
bisa memandangnya. Hadi memang tak tahu nama, tak tahu asal usulnya. Mingkin
pertemuan itu hanya sebatas kenangan sejenak untuk dilupakan walau Hadi berdo’a
dalam lamunan akan ada kisah kelanjutan yang dinantikan. Dalam bis Hadi
memandang keluar, ingin melukis wajahnya di kaca dengan air hujan karena ia
tlah terlanjur tinggalkan kenangan.
Cerita sebelumnya: Tangis Cinta 1, Tangis Cinta 2, Tangis Cinta 3 , Bunga Memekar Kembali, Hibur Hati Sesaat.
Jangan lupa ya teman-teman! Share and ikuti, kemudian kasih tanggapan, tanggapan dari teman adalah ilmu bagi saya... :) Tunggu season berikutnya ya... :)
Cerita sebelumnya: Tangis Cinta 1, Tangis Cinta 2, Tangis Cinta 3 , Bunga Memekar Kembali, Hibur Hati Sesaat.
Jangan lupa ya teman-teman! Share and ikuti, kemudian kasih tanggapan, tanggapan dari teman adalah ilmu bagi saya... :) Tunggu season berikutnya ya... :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar